06 Desember 2011

CERMIN

LELAKI PEMIMPI

Masalwi

Rembulan telah mendekati purnama,

menari diantara nyiur,

seperti bidadari, begitu elok dan cantik.

Memang belum bulat benar,

namun tetap saja cantiknya menguasai malam.

Mahesa termangu diteras kamarnya yang langsung menghadap jalan, langsung menghadap pelataran yang lumayan luas untuk ukuran kota yang mulai sesak. Di tangannya sebendel kertas bekas, telah penuh coretan. Tinta biru begitu tegas menggores dipermukaan. Membentuk bait-bait syair dan penggalan-penggalan kisah rekaan.

Dari ujung pandang mata, wajahnya membias di sebuah genangan air bekas hujan. Seolah hidup, nyata dan mendekati sosok Mahesa. Turut menghirup secangkir kopi manis dan menyantap camilan pengusir rasa kantuk di tangannya. Bayang itu langsung menyeruak, mengambil posisi strategis untuk dapat melihat langsung tulisan Mahesa. Tulisan terbaru yang belum dipublikasikan atau mungkin tak akan pernah dipublikasikan, kecuali hanya diberikan untuk teman terkasih, seperti biasanya.

“Lagi-lagi kau lukiskan rembulan”. Mahesa tak menjawab, dia sesaat menoleh kearah bayang dirinya dan mengambil cemilan yang dibawanya.

“Minggu lalu kamu tuliskan purnama, sebagai topik utama. Sebelumnya kau tulis bulan tua yang tak menampakkan wujudnya, kemudian bulan lengkung dan kini bulan yang tak bulat...apa tidak ada yang lain?”

“Yang penting orang suka” Kata Mahesa singkat.

“Kalau gak dipublikasikan, bagaimana bisa mengukur, kalau orang suka?”

“Nyatanya ada yang minta dan ada yang mau baca”.

“Sekarang berapa yang minta, sekarang berapa orang yang baca. Paling, tidak lebih dari tiga orang di setiap bulannya. Itu juga termasuk aku”. Bantah bayang diri dengan argumen yang tak dapat lagi di sanggah oleh Mahesa. Mahesa pun beringsut, menepi dan mengambil secangkir kopi. Dia meminumnya, hingga kopi di cangkirnya hampir habis dan menyisakan seinci air dan ampasnya.

“Itulah cinta, dan hanya pecinta yang membaca tulisanku” bela Mahesa.

“Tapi apakah cinta harus selalu dilukiskan dengan rembulan?”

“Aku tidak melukiskan cintaku dengan rembulan, karena rembulanlah cintaku.”

“Dasar pungguk!”

“Maksudmu?”

“Tak berani mengatakan cinta, hanya menunggu kapan datangnya. Meskipun kamu tahu kalu dia tak akan pernah datang”.

“Dia akan datang”.

“Seharusnya kamu yang datang menjemputnya”.

“Tak perlu aku menjemputnya!”

“Kenapa? Kamu takut dia tak menerima datangmu”.

“Karena rembulanku sudah bisa kutemukan di bus kota”.

“Kamu tak sekedar memimpikannya kan?”

“Tentu tidak, tapi sekarang rembulanku sedang tak mau bicara”

“Kenapa?”

“Karena sudah tiga minggu terahir ini aku tak bertemu dengan dia”

“Kenapa tak kamu telepon dia”.

“Buku telepon tak mencatat namanya”.

“Semestinya kamu catat nomor rumahnya”.

“Rumahnya tak berdinding”.

“Tapi mestinya kamu ingat atap rumahnya!”

“Atap rumahnya terlalu luas”.

“Pasti masih ada sisa telapak kakinya dan meninggalkan jejak langkah yang bisa kamu cari”.

“Langkahnya begitu cepat, itupun diikuti angin yang menyapu bersih telapaknya”.

“Pasti kamu masih ingat parfum atau aroma tubuhnya!”

“Aku memang mengingatnya, tapi aku tak bisa melacaknya. Bagaimana pula aku melacak aroma tubuhnya, sedang telapak kakinya saja habis disapu angin, sesaat setelah dia mengayunkan langkahnya”.

“Bagaimana dengan suaranya?”

“Merdu, tapi tak pernah kudengar lagi?”

“Bagaimana dengan wajahnya?”

“Tak begitu cantik, tapi menarik”.

“Bagaimana dengan tutur sapanya?”

“Santun, aku bahkan terlena dibuatnya.”

“Bagaimana dengan canda tawanya?”

“Asik, menghibur dan tak ketinggalan jaman”.

“Bagaimana dengan cara jalannya?”

“Mantap dan tetap lincah”.

“Bagaimana cara memandangnya”

“Teduh, tak pernah menyiratkan tanya, melainkan jawab atau dengan kata lain penuh makna”.

“Bagaimana dengan cara berfikirnya?”

“Jernih, tanpa prasangka”.

“Bagaimana kamu melihat senyumnya?”

“Tulus kalau tidak mau sekedar dibilang manis”.

“Bagaimana dengan perangainya?”

“Baik dan cukup tenang”.

“Bagaimana dengan juntai rambutnya?”

“Kerudung ungu selalu menyembunyikannya.”

“Bagaimana dengan pergaulannya?”

“Terbuka, tapi tetap terjaga”

“Bagaimana dengan etos kerjanya?”

“Rajin, tak pernah menunda-nunda”.

“Bagaimana dengan kesehariannya?”

“Bersahaja, tak pernah macam-macam.”

“Kamu terlalu mengenalnya, lalu bagaimana mungkin kamu kehilangan jejaknya?”

“Itu yang masih aku fikirkan.” Mahesa dan juga lelaki itupun diam dan saling beradu pandang. Mendadak mahesa beranjak, menyambut rintik yang kembali turun dan lelaki itupun lenyap dalam kubang air yang menggenang, kembali menjadi bayang-bayang.

***

Pagi menghampiri, ceracau burung mengiringi langkah mahesa yang tiba-tiba terhenti disebuah halte bus yang tertata rapi. Hangat mentari dirasakan lebih hangat lagi, saat pandang matanya menemukan tatap mata dan gairah hidup yang berseri.

“Benarkah dia?” langkah kaki Mahesa perlahan surut kebelakang, mendekat halte yang terisi beberapa orang saja. Segan bibirnyapun menyapa seorang wanita yang berkerudung jingga.

“Ada apa ya mas?”

“Apakah hari ini, hari yang kedua?”

“Maksud Mas?”

“Apakah kemarin kau juga di halte ini.”

“Hampir tiap pagi aku nunggu bis disini dan tiap sore turun dari bis, ya ditempat ini juga.”

“Kamu kenal aku?”

“Kelihatannya tidak, tapi mungkin juga pernah”

“Kenapa mungkin?”

“Mungkin saja kemarin kita ketemu atau bagaimana menurut Mas?”

“Kamu pernah pake kerudung ungu sebelumnya?”

“Sama sekali tidak, soalnya aku tidak punya.”

“Kamu pernah nunggu bis di jalan Urip Sumarjo”

“Pernah juga, sekali waktu dalam sebulan. Pas dari toko buku.”

“Pagi?”

“Siang atau sore. Toko buku buka sekitar jam sembilan.”

“Begitu ya.”

“Memang kenapa?”

“Gak…mungkin salah orang.”

“Wajar Mas, memang terkadang kita mirip dengan yang lain dan sama sekali tidak kita kenal.”

“Ya juga…oya apa namamu sita.”

“Kebetulan hampir mirip, namaku Satia.”

“Ooo..”

“Bagaimana?”

“Mungkin aku mimpi.”

“Bisa jadi,” keduanya lantas tersenyum, namun terkesan agak canggung.

Sebuah bus mendekat dengan begitu tenang, tidak seperti biasanya yang selalu melaju kencang memburu setoran. Satia beranjak dan masuk ke bus tersebut tanpa sekalipun menoleh kembali kearah Mahesa, sehingga akhirnya menjauh dan hilang di batas pandang.

Mahesa melangkah menjauh dari tempat tersebut. Sebelumnya menandai tempat itu dengan sorot matanya yang keheranan dan tidak menentu. Meninggalkan kicau burung yang nangkring di pepohonan rindang belakang halte.

***

Yusron Alwi

Kebonarum Utara II/05 Pucanggading Mranggen, Demak

Astaartg@yahoo.co.id

FRAGMEN

Na-Na

Siang hari sepulang sekolah, ketika panas matahari tersaring pepohonan rindang. Saat daunan jati tua berguguran, saat ayam mulai berkoar karena lapar, saat lemah letih lesu menghinggapi langkah setiap pejalan, yang lebih banyak berseragam abu-abu putih. Tiba-tiba saja Oni menghamiriku, menyeretku dari rombongan, yang diantaranya Irna, Ana, Uum, Farid dan lainnya. Mengucilkan aku dalam keterasingan sepi jalanan kampung yang jauh lebih teduh dari jalanan pinggir taman wisata candi Borobudur. Dia sempat berbisik;

“Aku ada perlu sama kamu,”

“Kan tinggal ngomong saja.”

“Sifatnya rahasia.”

“Kok tumben?”

“Kali-kali gak papa kan?”

Kami mulai tertinggal jauh, terpisah dan memisahkan diri dari rombongan, melalui jalur lain yang lebih masuk kedalam perkampungan. Lebih sepi dari lalu-lalang, lebih sepi dari pandangan orang. Kerena jarak rumah satu dan lainnya masihlah cukup panjang, dengan dibatasi kebun jati atau singkong-singkongan.

“Aneh ya!?” Lanjut Oni dengan pertanyaan untuk dirinya dan bukan untuk dijawab melainkakn ditanyakan ulang.

“Aneh apanya?”

“Sejarah, aku saja sering bingung nangkep omongan kamu, kok ada saja yang naksir sama kamu.”

“Berarti dia termasuk orang yang ada di jalan lurus.”

“Mulai kan?”

“He…he…he…beneran omonganmu tadi?”

“Aku sendiri bingung, setengah tidak percaya.”

“Kok gitu?”

“Dia lagi ngelindur apa kumur-kumur ya?”

“Kalau menurutmu?”

“Ya bingung itu tadi.”

“Dia keliahatan lagi tidur gak?”

“Gak.”

“Berarti gak ngelindur.”

“Begitu ya?”

“Kelihatan dimuntahin atau di telen airnya?”

“Sepertinya sih di telen?”

“Berarti minum.”

“Gitu ya?” Oni menggaruk-garuk kepalanya, tapi tak menyentuh rambutnya, karena ada kerudung putih lusuh membungkusnya. Maklum lusuh, karena terlalu sering terbakar matahari, ketika mesti jalan dua kiloan meter dari sekolah menuju angkutan di terminal Ngaran, Borobudur.

“Tapi hubungane opo?” lanjut Oni bertanya.

“Ya itu tadi, katanya kamu lagi bingung dia kumur-kumur atau lagi ngelindur. Ya aku kan cuma bantu menganalisa saja. Dan sudah selesai masalahnya tho?”

“Waduh-waduh-waduh kok jadi gak jelas gini tho?”

“Ya malah sangat jelas tho, masalahmu kan jadi dah selesai. Sekarang apa yang tidak jelas?”

Sangat keras Oni menyeret lenganku, sehingga kini aku menghadap persis ke arahnya. Melihat raut mukanya yang semakin memadam, layaknya bara api. Matanya tajam, bibirnya manyun, pipinya menggelembung layaknya kodok bangkong.

“Nyadran….! Aku serius! Kamu bisa serius gak sih?!” suara Oni sangat keras ditelingaku, andai saja lubang telinga segede mulut, pastilah sudah pecah gendang telingaku.

“Aku juga bisa serius.”

“Kalau gitu serius dong.” Oni merajuk, sambil melempar tanganku searah gaya grafitasi.

“Bingung kenapa, aku terlalu jelek ya…atau jangan-jangan yang suka aku, itu.. kamu?”

“Ya itu dah sadar diri, gak mungkin akulah. Aku cuma kurir.”

“O…”

Jawaban singkatku hanya di tanggapinya dengan tawa, memang untuk satu sisi atau satu sudut pandang tidak ada lucu-lucunya. Namun memang begitulah manusia, terkadang tertawa untuk hal-hal yang sama sekali tidak lucu.

“Maaf aku gak maksud ngejek.”

“Cuma menyampaikan fakta kan?”

“Jangan terlalu sensi dong. Masak cowok sensitiv banget.”

“Pertama, cowok juga manusia, jadi wajar kalau sensitive. Yang kedua, aku gak sensi, tapi sadar diri.”

“Bagus deh.” Senyum Oni mengembang, tanpa ada nada yang berarti tak ada tawa.

“Setidaknya cuma ini yang aku punya,” aku membela diri.

“Gak juga.”

“Lantas apa lagi?”

“Banyak hal yang kamu punya, hanya saja banyak orang yang tak tahu.”

“Contohnya?”

“Ya gak tahulah, wong aku kan bagian dari kebanyakan orang.” Cerocosnya tanpa berfikir, seperti petasan banting.

Tentu saja raut mukaku akan merona merah seandainya warna kulitku putih kayak orang-orang eropa atau kuning cerah kayak orang cina, jepang dan juga korea. Namun berhubung aku tulen orang jawa, yang juga ndeso maka kulitkupun coklat gelap, kalau tak mau dikata hitap cerah. (He…he…he…hitam cerah?) yah, biar mudah saja menggambarkan warna kulitku. Kalau dibilang coklat kok kegelapen, kalau mau dibilang hitam kok kurang gelap, bila disanding orang asli afrika sana. Maka itu akan lebih tepat dan bersahabat kalau dibilang hitam cerah.

Mercon banting itu tambah meledak-ledakan kata, setelah beberapa saat meledakan tawanya. Panjang dan semakin panjang, sehingga membentuk sebuah cerita, dari satu frasa, paragraf, alenia samapi berlembar-lembar.

“Ca-ci-cu-ce-co.”

Sampailah di akhir cerita.

“Za-zi-zu-ze-zo.”

Yang initinya memaksaku harus memilih salah satu diantara dua, Irna atau Ana, yang semuanya berakhiran Na. aku hanya bisa mengernyitka dahi, mengangkat alis sehingga setara langit. Dibuat bingung untuk memilih salah satunya, sebab keduanya sahabatku juga. Kalau aku pilih salah satu dan keduanya beneran suka sama aku, maka salah satunya pasti kan tersakiti. Kalau aku tidak memeilih, pasti juga keduanya kan sakit hati atau minimal kecewa.

“Gimana, kamu pilih mana?” desak Oni.

“Emange barang, kok pilih mana?”

“Yawis, pilih si-a-pa?” eja Oni, lirih di telingaku. Jika misal jalan itu rame, tentulah yang melihat akan berasumsi ada apa-apa diantara kita. Karena sikap tubuhnya akan tertangkap mata begitu mesra.

“Kamu aja,” ku tanggapi sikap tubuh mesranya dengan canda menggoda, siapa tahu saja dia berubah fikiran, kemudian membelokkan kemudinya. Yang semula hanya sebagai kurir, menjadi yang berkepentingan.

“Gak ada pilihan ketiga. cuma a dan b. gak pakai c.” tegas Oni sambil berkacak pinggang dan mencondongkan sebagian tubuh serta mukanya ke arahku. Sungguh-sungguh jadi tambah mesra, jika dilihat dari sisi saja, bisa jadi kami tertangkap kamera sedang melakukan hal yang kurang pantas dan bisa berlanjut tidak pantas lagi bila terus di naungan sunyi sepi.

Maka dari itu aku berinisiatif untuk melanjutkan jalan, sambil berfikir untuk menentukan yang terbaik buat semua. Oni menguntit di belakang, kemudian mengiringi langkah di sampingku. Menggunankan sikap wajarnya, dan tak akan timbul pikiran curiga dari setiap mata yang kebetulan melihat, baik itu sekilas lewat maupun menyengaja mencuri pandang.

“Sama kamu, cocok juga ya.” Lagi-lagi aku mengalihkan kontek pilihan. Karena mungkin bingungku yang tak mencair dalam satu tindakan pemikiran.

“Ngaco.”

Dia memukulku dan berjalan maju satu, dua langkah.

“Terus siapa Ni?”

“Ya terserah kamu dong, aku kan cuma tukang pos. tugasku mengantarkan titipan.”

“Lha titipan yang kamu antar gak jelas pengirimnya sih.”

“Yang ngirim, pesan, kalau kamu dah memelih, baru aku boleh ngasih tahu orangnya.”

“Berarti bukan dua-duanya yang ngirim pesen.”

“Mungkin.”

“Kok mungkin?”

“Bisa ya, bisa juga tidak. Itu masih rahasia perusahaan.” Manja Oni, membuang muka dan menggoyangkan langkahnya. Meninggalkan aku yang dibuatnya bingung, bertanya-tanya.

Sesaat aku berhenti, berpura-pura merenung, karena aku memang sulit merenung. Kalau untuk bingung, itu bukan hal sulit, karena sebagai lelaki aku termasuk lemah, termasuk berperasaan lembut. Tipe orang sulit menolak permohonan bantuan, orang yang cukup gampang trenyuh, gampang simpati dan juga empati. Takut untuk menyakiti hati, terlebih hati tulang resuk bengkok alias wanita.

“Tunggu Ni.” Aku menyusul Oni yang sudah cukup jauh di depanku.

“Dari tadi aku nunggu jawabanmu.”

“Bisa ditunda ga, aku tak mikir-mikir dulu.”

“Gak pakai mikir, yang terpenting hatimu. Wong tidak lagi ngomongin untung rugi.”

“Gimana kalau Na-Na saja.” Selorohku mengambil jalan tengah.

“Maksudmu?”

“Ana-Irna…sama-sama Na, kan? Bagaimana kalau Na-Na, kan gak akan ada yang kecewa.”

“Belum juga kawin udah mau poligami.”

“Memang ayam, kawin?”

“Ya, Nikah, mantenan.”

“Sssttt, masih kecil. Gak elok ngomongin manten-mantenan.”

Kita kompak terbahak, kebetulan jalan yang kita lalaui tidak lagi terisi sepi, namun telah cukup dipenuhi pasang telinga lain yang juga ikutan mlipir di bawah rindanng pohonan. Maka itu, pasang-pasang telinga sepontan memerintahkan pasang mata mereka untuk mengalihkan pandang pada bahak kami.

“Bingung juga ya…keduanya sama-sama cantik, sama-sama baik dan sepertinya sama-sama unik.” Gumamku.

Tak ada lagi pasang mata memandang kami, maka kan leluasa untuk menentukan muara kebingunganku. Sedikit nglangut, ngglayut dan ngalut-nglut.

“Yang satu dan dua aku setuju, tapi yang ke tiga aku masih gak ngerti. Biar lebih jelas beri aku alasan.”

“Kok satu, dua, tiga, apaan sih?”

“Baik, cantik, unik.”

“Ooo…”

“Kok cuma o.”

“Harusnya?”

“Beri aku alasan kenapa kamu bilang unik?” desak Oni dengan gasture seriusnya.

“Ooo…”

“Kok o lagi.”

“Ya jangan dipotong, jadi minta alasan ga?”

“Ooo…”

“Itu punyaku.”

“Apanya?” Oni buru-buru melihat pada dirinya, dari setiap sisinya, dari setiap jengkalnya.

“O-nya.”

“Ah, mulai bingung aku ngomong sama kamu. Cepetan jelsain aja alasannya. Gak usah bermain kata lagi.”

“Huruf!” tegasku.

“Sudah! Jelasin!” tukasnya tegas.

“Oke, setidaknya mereka berdua nyambung sama aku. Sejarah yang lain, katanya; bingung sitiap ngobrol sama aku. Jadi mereka termasuk unik, karena bisa berkomunikasi dengan mahluk langka dan perlu dilestarikan ini. Ya to.?”

Sepertinya penjelasan terakhirku dianggap Oni sangat lucu, meskipun menurutku biasa aja. Kalau istilah lawakan, garing. Namun menurut Oni sepertinya ini cukup basah atau sangat basah. Sehingga dia tak henti terbahak dan bahkan berhenti melangkah, memegangi perutnya yang mulai terasa mengkal keras dan menahan pipis.

“Kok ketawa sampai segitu? Ada yang lucu?”

Oni belum juga bisa menjab, kecuali bilang;

“Aku kebelet pipis.”

Buru-buru dia lari kearah mushala, menuju wcnya, yang kebetulan ngepasi di depan mata. Hanya beberapa langkah dan kurang dari lima belas langkah. Dia terbirit, melemparkan tas bukunya ke arahku dan bener-bener lenyap untuk beberapa saat di ruang kecil itu. Saat dia muncul lagi, masih ada sisa tawa di bibirnya, berbentuk senyum atau tawa kecil yang tersamar suaranya.

“Ada yang lucu ya?” aku mengulangi pertanyaanku.

“Menurutmu, kenapa aku ketawa samapi seperti tadi?” Oni balik bertanya, masih dengan sisa tawanya.

“Ya ada yang lucu…tapi apanya?” Tegas dan tanyaku singkat.

“Apa ya…?” Oni ragu untuk menyampaikan, sambil meraih kembali tas bukunya dari tanganku.

“Halah bilang saja, kalau yang pas buat aku, ujung kulon sana.”

“Bukan aku yang bilang lho,” Oni sedikit menghindar dalam candanya.

“Aku tahu, aku yang bilang kok. Setidaknya ini tebakan, ramalan yang bukan cuaca.”

“Maksud bawa-bawa cuaca segala apa?

“Ya bukan ramalan cuaca.”

“Perkiraan cuaca kali.”

“Ya, perkiraan cuaca…” Kutinggalkan Oni, dengan langkah panjangku “Oya soal Na-Na, aku sudah putusin siapa yang aku pilih…” lanjutku tanpa menoleh kebelakang.

“Siapa?” Oni antusias dan mengejarku. Sementara aku diam sesaat yang diperlukan, sekiranya bisa membangkitkan penasarannya.

“Dia yang besok, mau datang dan makan soto di kantinnya Mbak Mar.”

“Gak bisa sebut nama, soale pesene sebut nama ki.”

“Ini keputusan final, kalau gak ada yang mau, ya udah kayak biasa aja. Runtang-runtung[1] bareng, sebagai temen, tetap temen dan tak ada keputusan lain.”

“Welah, pinter juga kamu. Dapet ilham dari mana?”

“Depan wc pas kamu kebelet tadi.”

“Kok depan wc, jangan-jangan ngintip ya.”

“Ye…ngintip?”

“Terus kalau gak ngintip? Dapat ilhamnya dari mananya?”

“Masuk wc kan sifatnya sangat pribadi buat cewek. Gak bisa atau gak lazim rombongan kayak cowok. Kalau cowok, bisa bebarengan, bisa berderetan, tapi apa cewek mau begitu?tidak kan?”

“Tidak sih, tapi hubunganya apa?”

“Hubungannya, yang pesen sama kamu kan cuma satu orang, bersifat rahasia dan pribadi. Maka itu aku juga nitip pesen buat orang itu secara pribadi agar dia datang secara pribadi juga.”

“Masih belum ngeh, belum nyambung.”

Wajah Oni menegang, mencoba mengupas omonganku dengan lebih serius.

“Cinta, suka, sayang…kebutuhan ga?”

“Bisa jadi ya.”

“Ke toilet kebutuhan ga?”

“Ya.”

“Sama-sama prifasi?”

“Ya.”

“Sama-sama rahasia?”

“Ya.”

“Aku yakin kalau yang nitip pesen sama kamu merasa bahwa cinta, suka dan sayangnya sama aku adalah kebutuhan. Pastilah dia akan datang menemuiku untuk memenuhi kejelasan kebutuhannya. Seperti dia pergi ke toilet untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.”

“Gila tapi cerdas…makane apa tho?”

“Telo jendral bin singkong.”

Bisa aku lihat, ada kekaguman atas diriku menghias matanya, sepertinya dalam hati dia mulai bilang; kalau pantas Na suka sama aku, atau juga bilang, kalau saja aku gak jadi kurir, pastilah aku juga mau. Tapi itu cuma sepertinya, sebab pastinya dia juga yang tahu.

“Ok, aku setuju.”

“Ya harus setuju, wong tugas comblang cukup sebagai penyambung kata. Tapi untuk keputusan, yang dicomblangin penentunya.”

“Setuju lagi.” Tambah Oni seraya tersenyum, dengan seringai gigi menghias wagu.

“Kamu senyum apa nyengir?”

“Nyengir.” Jawab Oni sambil meninggalkan aku. Namun buru-buru dia menghentikan langkhanya.

“Ada satu hal lagi.” Tambahnya kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku, yang berarti tetap ke depan.

“Apa lagi?”

“Kok tumben ya aku nyambung sama kamu?”

“Berarti kamu sudah dapat hidayah. Makanya bisa klik sama aku.”

“Kurang ajar, he…he…he…”

Oni benar-benar meninggalkan aku, mempercepat langkahnya, masuk terminal dan menuju angkutan jurusan Muntilan. Hanya sesaat dia berada di sana, sepertinya yang ingin dia cari sudah duluan pulang atau belum samapi tempat itu. Dia pun lantas menuju arah lain, menyambangi angkutan jurusan salaman yang ngetem di salah satu sudutnya.



[1] Selalu bersama

05 Desember 2011


lihat dunia lebih dengan hati, lihat sekitar lebih dengan rasa

05 Februari 2010

tiga telapak kaki


tiga tapak kaki wanita cantik, berteman dengan daun kering yang merana, yang dipaksa meninggalkan ranting pohonnya karena dirinya yang telah kering dan tua. namun si cantik tak pernah pilih-pilih, meskipun dia hanya daun renta namun kebahagiaan masihlah haknya. hak semua!!!
sunyi di benteng tua, lampu-lampu menjadi saksi bisunya.

sudut semirang


ini sudut semirang, sebuah potensi wisata yang hendak berkembang dan lagi ingin berkembang. mau datang?