26 Oktober 2009

Nostalgia Sepasang Camar

Nostalgia Sepasang Camar
Mass Alwi

Lelaki tua itu kembali terbangun untuk kesekian kalinya, kembali dia menggeliat, memasang wajah gelisah dan tak menentunya. Sampai saat kokok ayam dan nyanyian burung mulai menemani gundahnya, dia beranjak, namun tidak jauh dari tempat berbaringnya kini. Dipandanginya langit timur dari balik daun jendela yang menyisakan lobang sebiji mata.
“Kapan pagi itu datang” gumamnya tak menentu.
“Kau gelisah?”
Suara itu begitu mengejutkannya, namun tak sempat membuatnya melompat dari tempatnya mengintai matahari.
“Hanya, kurang yakin, maka itu aku mengintipnya.”
“Buka saja jendelanya, tidak akan lama lagi pagi akan datang menghampiri subuhmu.”
“Benarkah?” jawab Sua, lelaki tua kurang percaya.
“Seharusnya, karena burung-burung sudah mulai bernyanyi.”
“Sudah dari tadi, ayam berkokok, tapi pagi tak juga datang.”
“Tapi dari tadi burung belum bernyanyikan?”
“Memang, kecuali…”
“Kecuali yang barusan kamu dengar kan?” Sua hanya tersenyum, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia bergegas menghampiri Is, istrinya, yang duduk di atas ranjang sambil mendekap bantal karena kedinginan.
“Buka dulu jendelanya, bila tidak nanti kita ketinggalan subuh seperti kemarin dan kehilanagn pagi seperti yang sudah-sudah,” pinta sang Istri sambil semakin rapat mendekap kedua kakikinya dan meletakkan dagunya diantara kedua lututnya.
“Kau kedinginan!” Tanya laki-laki tua kemudian.
“Sebentar juga hangat.” Sua berbalik kearah jendela, berhati-hati dia buka kuncinya, dengan sedikit ragu dia genggam erat pegangan jendela,
“Jangan kau buka dulu!” cegah istrinya kemudian.
“Kenapa?”
“Aku ragu!”
“Apa yang membuatmu ragu.”
“Apakah pendengaranku masih baik?”
“Tentu saja, kenapa?”
“Kau menghiburku?”
“Tidak,”
“Kau tidak sedang berbohong?”
“Kau dengar aku.” Sua mencoba meyakinkan Is, namun Sang istri tetap saja masih ragu, dia beringsut, semakin mendekat kearah suaminya yang renta, namun tetap tersisa gagah mudanya.
“Aku membaca bibirmu,” ungkap wanita renta itu yakin, namun sesaat kemudian diapun mulai ragu. “tidak, tidak mungkin aku membaca bibirmu.”
“Kenapa tidak.”
“Sejak sepuluh tahun terahir mataku rabun dan Pak Mantri itu telah mengatakan kalau mata ini harus dioprasi bila ingin melihat lebih jelas lagi, tapi kemungkinannya juga tipis atau hampir tidak mungkin. Itu kalau dia mau berterus terang.”
“Matamu masih bagus, kalau tidak percaya, coba tebak aku sedang apa?” canda Sua meyakinkan istrinya.
“Memegang gagang jendela dan mau membukanya,” jawab Is mantab, tanpa setitikpun keraguan.
“Betulkan, pengelihatanmu masih bagus, matamu tidak rabun, jadi tidak perlu operasi.”
Is mulai sangat yakin dengan keadaan dirinya, kalau dia tidak rabun terlebih buta. Kalau penglihatannya masih bagus atau bahkan sangat bagus dan tidak perlu operasi. Tapi hal itu tak dirasakan lama, karena mendadak dia diliputi keraguan untuk kesekian kali.
“Kenapa? Kelihatannya kamu masih ragu?”
“Aku tidak sungguh-sungguh melihatmu.”
“Buktinya kamu tahu apa yang aku lakukan?!”
“Itukan kebiasaanmu, aku hapal betul kebiasaanmu.”
“Benarkah?” sumringah, lelaki tua semakin bersemangat. Darah mudanya seolah menggelora kembali, semangatnya memucuk lagi, setinggi pucuk-pucuk daun pepaya. Langkahnya menderap lagi, layaknya derap kuda yang kelelahan. Nafasnya menderu, seperti halnya raung panser Belanda di era perjungannya dulu.
“Aku tidak pernah bohong soal ini. Aku tidak pernah bohong padamu, terlebih soal dirimu.” Is balik meyakinkan suaminya, namun suaminya tidak buru-buru yakin. Meskipun begitu, Sua terlihat lebih antusias dan mulai lebih mendekati istrinya ke bibir ranjang. Meninggalkan daun jendela yang tidak lagi jadi dibuka.
“Benarkah yang kau katakana barusan?” sekali lagi Sua mencoba meyakinkan dirinya, mendesak Istri dengan satu pertanyaan saja, namun terus diulang, hingga puluhan kali jumlahnya.
“Kau meragukan aku?!” jawab istri dengan Tanya dan agak sedikit kesal, karena merasa tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari kekasihnya, suaminya, garwa/sigaraning nyawanya (belahan jiwanya).
“Bukannya aku tidak percaya, aku cuma ingin meyakinkan. Barangkali saja aku salah dengar atau mungkin kamu salah mengatakan.”
“Berarti kau tidak percaya padaku. Kau meragukan aku, sangsi akan kejujuranku dan ketulusankau.” Is tampak sedikit kecewa dengan sikap Sua, dia palingkan wajahnya kea rah lain, yang berupa diding kusam diujung pandangnya.
“Maksudku bukan begitu sayang,” hibur Sua pada Is.
“Lalu apa?”
“Aku takut telingaku sudah tuli, sudah benar-benar tidak mendengar lagi.”
“Mana mungkin telingamu tuli, nyatanya kita bisa saling mengerti.”
“Apakah kamu tidak sadar, kalau selama ini kita selalu bicara dari hati-kehati.”
“Itu bukan berarti kedua telinga tidak berfungsi.”
“Tapi aku yakin, kalau telingaku sudah menjadi tuli.”
“kenapa kamu begitu yakin?”
“Hampir sepuluh tahun terahir ini aku tidak lagi mendengar suara jangkrik. Burung-burung hantu yang biasanya bernyanyi sambil sambil mengintai dari dahan ranting pohon mundu depan rumah, sudah lebih dulu terbungkam. Subuh tak lagi terdengar kumandangnya ditelingaku. Pagi tak lagi memperdengarkan kokok ayam dan kicau burungnya. Apakah kau mendengarnya sayang?” Is tak menjawab, dia hanya mengernyitkan dahinya yang sudah penuh dengan kerutan, layaknya lipatan kain kusut yang hampir tidak pernah tersentuh seterika. Tanpa menunggu jawaban dari Is, Sua pun meneruskan khutbah panjangnya, bahkan sangat panjang dan hampir tak berujung, tapi tak sepenuhnya fokus pada satu topik saja, ngaltur dan ngoyoworo.
“Ya, ya sayang, rasanya sudah lama sekali kita tidak pernah mendengar lagi suar-suara itu. Apa bener telinga kita sudah mulai tuli.” Is mulai mengiyakan khotbah suaminya. Dia mulai sependapat dengan Sua, kalau mereka sebenarnya sudah mulai tuli.
“Dulu, setiap pagi tiba, setiap kali matahari mulai mengintai, bumipun mulai riuh, bising dengan suara-suara kentongan yang ditabuh berpuluh kali. Bising dengan suara senapan yang dikongkang dan diletuskan dan tetu saja suara teriak rintih ksakitan diiringi rembes darah dari kepala yang tertembus pelor. “ lanjut Is.
“Rasanya baru kemarin aku memanggul bedil, tapi hari ini sepertinya tbuhku sudah lemah, bahkan hamper tidak bisa berjalan lagi.” Keluh Sua sambil menyandarkan tubuh di sudut ranjang.
“Sudah ratusan hari, aku tidak dengar lagi desing peluru, letusan mesiu, teriakan memburu. Meskipun aku sempat takut, was-was, cemas, tapi aku tak pernah merasa terbebani.”
“Rasanya baru kemarin aku memuntahkan peluru, tapi hari ini tanganku sudah gemetaran saat harus mengangkat secangkir kopi saja.”
“Aku berlari, saat hujan turun dengan sangat lebat, tapi bukan untuk berlindung, bukan untuk berteduh, aku tarsus mencari diantara mayat yang bergelimpang dan ditinggalkan. Aku selalu tersenyum ketika yang aku cari tidak aku temukan, tapi aku sempat menangis, miris, saat harus mengangkat mayat-mayat yang gugur itu untuk dikebumikan.”
“Malam aku merapat kebenteng pertahanan lawan, ketika pagi tiba aku merapat kesungai-sungai dan celah-celah tebing. Setelah agak siang aku kembali kesawahku, yang tak jarang memerah dialiri darah teman atau lawan yang gugur diujung irigasi.”
Keduanya semakin asik dengan diri mereka masing-masing, dengan lamunan masalalunya yang hamper sama namun tak serupa. Sama-sama bermuara pada masa-masa perjuangan, namun berbeda dalam mesikapinya.
“Apakah kau masih sering mendengar genderang perang itu, sayang?” tiaba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari bibir Sua untuk istri tersayangnya.
“Sama sekali tidak?”
“ Berarti benar, kalau telinga kita sudah mulai tuli. Karena aku juga hanya dengar kesunyian yang hamper tidak berujung.”
“Akupun hanya dengar itu, behkan terkadang tidak dengar sesuatupun…”
“Berarti kita memang sudah benar-benar tuli.”
“Apakah kau masih sering melihat keribuatan dan keriuhan, saat kau mengintip dari lubang jendela itu, sayang?”
Sua tidak menjawabnya, dia hanya menggelengkan kepala, sambil mengerutkan dahinya dengan ragu, seolah-olah hendak mengingat-ingat sesuatu yang mungkin keluapaan.
“Kalau begitu, bukan telinga kita yang tuli, tapi mata kita yang rabun.” Lanjut Is, sambil mendekat kejendela.
“Kau akan membukanya?”
“Ya, untuk memastikan. Apakah benar mata kita rabun atau telinga kita yang tuli.”
“Kau yakin akan membukanya?”
“Tentu. Kau mau ikut?” Sua berjalan mendekati Is istrinya dengan tergopoh-gopoh. Is segera menerima tangan Sua yang hendak meraihnya, hingga ahirnya kedua tangan mereka bersatu, layaknya remaja yang sedang bercinta.
“Kau yakin akan membukanya?” lanjut Sua, sambil menggenggam erat tangan Is.
“Seharusnya.”
“Kenapa seharusnya?”
“Karena kau belum juga lepaskan tanganku. Kalau kau lepaskan tanagnku, maka aku akan membukanya.”
Perlahan Sua melepaskan tangan Is, namun sebelum tangan itu benar-benar telepas, kembali Sua meraih tangan Is dan menggenggamnya lebih erat.
“Ada apa kelihatannya kau begitu takut?” Is bisa merasakan keraguan dan ketakutan menyelimuti Sua. Dibiarkannya tangan Sua, menggenggam erat tangannya, dan dibiarkan pula Sua memeluk dirinya dengan satu tangan, sementara tangan satunya tetap menggenggam tangannya dan meletakkannya di dada.
“Ada apa?” Is terbawa cemas.
“Aku hanya sedikit khawatir!” suara Sua bergetar, tubuhnya bergetar. Seperti ada selaksa ketakutan menghinggapinya.
“Tenang, tidak akan terjadi apa-apa.” Is mencoba meyakinkan Sua.
“Biarkan aku yang membukanya.”
“Kamu yakin?”
“Yakin. Mungkin lebih yakin dari yang kau bayangkan.”
“Baiklah…eee tapi...” Is tidak meneruskan bicaranya. Perasaan takut, cemas, was-was, kini kuat hinggap pada diri Is. Seperti cemasnya orang yang akan ditinggalkan untuk waktu yang tidak menentu. Seperti akan ditinggalkan untuk perjumpaan yang tidak tentu.
“Tapia pa?”
“Apakah tidak lebih baik, kita buka bersama-sama jendela itu?”
keduanyapun lantas saling pandang. Mencari totik kesepakatan dengan tatapan mata mereka. Sampai ahirnya mereka menemukan kata sepakat dengan kerling kedua mata mereka.
“Baik, kita buka bersama.” Ungkap Sua.
“Hati-hati,” lanjut Is.
Berjingkat, keduanya mendekati jendela, membuka kembali grendel kuncinya dan bersama-sama siap mendorong daun jendelanya.
“Dalam hitungan ketiga, sama-sama kita dorong, kita buka,”
“Tapi jangan cepat-cepat, karena bisa mencurigakan, pelan dan wajar saja,” Is memberi nasehat seperti seorang yang memaparkan setrategi perang disaat-saat genting dan terjepit. Tentu saja hal itu dilakukannya dengan berbisik.
“Satu…dua…tiga,” Sua memberikan komando danperlahan keduanya mendorong jendela itu. Setelah jendela itu terbuka, mereka tidak menemukan apapun kecualai hamparan halaman yang masih sangat pekat dengan gulita malamnya.
“Aku tak melihat sesuatupun, kecuali pekat,” kata Is pelan.
“ Kelihatannya begitu juga aku,” Sua mengiyakan apa yang dilihat Is.
“Aku tak mendengar papapun, termasuk desingan peluru, letusan mesiu.”
“Aku juga tidak.”
“Apa benar mata kita telah rabun atau bahkan buta?”
“Aku rasa begitu.”
“Apa benar telinga kita sudah tuli.”
“Sepertinya pastinya begitu.”
Keduanya tetap berdiri di depan jendela, dengan kedua mata mereka mencoba mencari-cari, barangkali ada yang masih bisa mereka lihat dan temukan. Telinga berkali diputar bersama iramakepala yang berbutar, seolah mencari dan mencuri dengar. Namun tetap saja keduanya tidak menemukan apapun juga kecuali gelap dan sunyi. Tiba-tiba keduanya meraakan lain, ketika ada cahaya dan hanagat dirasakan mendekat dari arah belakang, namun keduanya tidak berani untuk menoleh kebelakang. Mungkin ragu atau mungkin pasrah.
“Apakah mungkin ini sudah waktunya?” ungkap Is sedikit memelas.
“Mungkin saja.” Penuh kasih dan kesabaran Sua memeluk istrinya, sehingga Is merasakan sedikit tenang dan merasa aman. Sementara cahaya itu semakin lama semakin kuat, semakin terang dan semakin dekat dengan keduanya.
“Kek, Nek kok belum tidur?” Suara yang terdengar seiring semakin bercahayanya kamar itu, seolah menyadarkan keduanya dan menumbuhkan keberanian keduanya. Keduanyapun segera melempar pandangan kearah sumber suara.
“Meli” kompak keduanya menyebut nama gadis cantik pembawa lilin dan berhias senyum ramah itu.
“ Lampunya mati, mungkin ada gangguan atau sengaja dipadamkan. Maka dari itumeli kesini membawakan lilin sebagai penerangan.” Sepasang renta itu hanya manggut-manggut mengiakan.
“Di musim hujan hal seperti ini sudah biasa…Kek, Nek, jangan berdiri dekat jendela seperti itu, nanti sakit. Angina malam tidak baik untuk kesehatan. Lebih baik Kakek dan Nenek tidur. Subuh nanti Meli bangunkan” Meli meraih tangan keduanya dan mengantar keduanya ke tempat tidur. Menatakan posisi bantal dan terahir memasangkan selimut untuk keduanya.
“Tidur yang nyenyak, jangan lupa mimpi yang indah.” Meli beranjak, menutup jendela kembali dan meninggalkan sepasang kakek nenek itu lelap dalam mimpi mereka.
“Rupanya kita belum buta.”
“Kita juga belum tuli.”
Kedua pasangan renta itu saling berbisik sambil menutup kedua mata, seiring pintu yang berderit saat ditutup kembali oleh Meli, cucu mereka.

Yogyakarta, 19 Agustus 2007