06 Desember 2011

CERMIN

LELAKI PEMIMPI

Masalwi

Rembulan telah mendekati purnama,

menari diantara nyiur,

seperti bidadari, begitu elok dan cantik.

Memang belum bulat benar,

namun tetap saja cantiknya menguasai malam.

Mahesa termangu diteras kamarnya yang langsung menghadap jalan, langsung menghadap pelataran yang lumayan luas untuk ukuran kota yang mulai sesak. Di tangannya sebendel kertas bekas, telah penuh coretan. Tinta biru begitu tegas menggores dipermukaan. Membentuk bait-bait syair dan penggalan-penggalan kisah rekaan.

Dari ujung pandang mata, wajahnya membias di sebuah genangan air bekas hujan. Seolah hidup, nyata dan mendekati sosok Mahesa. Turut menghirup secangkir kopi manis dan menyantap camilan pengusir rasa kantuk di tangannya. Bayang itu langsung menyeruak, mengambil posisi strategis untuk dapat melihat langsung tulisan Mahesa. Tulisan terbaru yang belum dipublikasikan atau mungkin tak akan pernah dipublikasikan, kecuali hanya diberikan untuk teman terkasih, seperti biasanya.

“Lagi-lagi kau lukiskan rembulan”. Mahesa tak menjawab, dia sesaat menoleh kearah bayang dirinya dan mengambil cemilan yang dibawanya.

“Minggu lalu kamu tuliskan purnama, sebagai topik utama. Sebelumnya kau tulis bulan tua yang tak menampakkan wujudnya, kemudian bulan lengkung dan kini bulan yang tak bulat...apa tidak ada yang lain?”

“Yang penting orang suka” Kata Mahesa singkat.

“Kalau gak dipublikasikan, bagaimana bisa mengukur, kalau orang suka?”

“Nyatanya ada yang minta dan ada yang mau baca”.

“Sekarang berapa yang minta, sekarang berapa orang yang baca. Paling, tidak lebih dari tiga orang di setiap bulannya. Itu juga termasuk aku”. Bantah bayang diri dengan argumen yang tak dapat lagi di sanggah oleh Mahesa. Mahesa pun beringsut, menepi dan mengambil secangkir kopi. Dia meminumnya, hingga kopi di cangkirnya hampir habis dan menyisakan seinci air dan ampasnya.

“Itulah cinta, dan hanya pecinta yang membaca tulisanku” bela Mahesa.

“Tapi apakah cinta harus selalu dilukiskan dengan rembulan?”

“Aku tidak melukiskan cintaku dengan rembulan, karena rembulanlah cintaku.”

“Dasar pungguk!”

“Maksudmu?”

“Tak berani mengatakan cinta, hanya menunggu kapan datangnya. Meskipun kamu tahu kalu dia tak akan pernah datang”.

“Dia akan datang”.

“Seharusnya kamu yang datang menjemputnya”.

“Tak perlu aku menjemputnya!”

“Kenapa? Kamu takut dia tak menerima datangmu”.

“Karena rembulanku sudah bisa kutemukan di bus kota”.

“Kamu tak sekedar memimpikannya kan?”

“Tentu tidak, tapi sekarang rembulanku sedang tak mau bicara”

“Kenapa?”

“Karena sudah tiga minggu terahir ini aku tak bertemu dengan dia”

“Kenapa tak kamu telepon dia”.

“Buku telepon tak mencatat namanya”.

“Semestinya kamu catat nomor rumahnya”.

“Rumahnya tak berdinding”.

“Tapi mestinya kamu ingat atap rumahnya!”

“Atap rumahnya terlalu luas”.

“Pasti masih ada sisa telapak kakinya dan meninggalkan jejak langkah yang bisa kamu cari”.

“Langkahnya begitu cepat, itupun diikuti angin yang menyapu bersih telapaknya”.

“Pasti kamu masih ingat parfum atau aroma tubuhnya!”

“Aku memang mengingatnya, tapi aku tak bisa melacaknya. Bagaimana pula aku melacak aroma tubuhnya, sedang telapak kakinya saja habis disapu angin, sesaat setelah dia mengayunkan langkahnya”.

“Bagaimana dengan suaranya?”

“Merdu, tapi tak pernah kudengar lagi?”

“Bagaimana dengan wajahnya?”

“Tak begitu cantik, tapi menarik”.

“Bagaimana dengan tutur sapanya?”

“Santun, aku bahkan terlena dibuatnya.”

“Bagaimana dengan canda tawanya?”

“Asik, menghibur dan tak ketinggalan jaman”.

“Bagaimana dengan cara jalannya?”

“Mantap dan tetap lincah”.

“Bagaimana cara memandangnya”

“Teduh, tak pernah menyiratkan tanya, melainkan jawab atau dengan kata lain penuh makna”.

“Bagaimana dengan cara berfikirnya?”

“Jernih, tanpa prasangka”.

“Bagaimana kamu melihat senyumnya?”

“Tulus kalau tidak mau sekedar dibilang manis”.

“Bagaimana dengan perangainya?”

“Baik dan cukup tenang”.

“Bagaimana dengan juntai rambutnya?”

“Kerudung ungu selalu menyembunyikannya.”

“Bagaimana dengan pergaulannya?”

“Terbuka, tapi tetap terjaga”

“Bagaimana dengan etos kerjanya?”

“Rajin, tak pernah menunda-nunda”.

“Bagaimana dengan kesehariannya?”

“Bersahaja, tak pernah macam-macam.”

“Kamu terlalu mengenalnya, lalu bagaimana mungkin kamu kehilangan jejaknya?”

“Itu yang masih aku fikirkan.” Mahesa dan juga lelaki itupun diam dan saling beradu pandang. Mendadak mahesa beranjak, menyambut rintik yang kembali turun dan lelaki itupun lenyap dalam kubang air yang menggenang, kembali menjadi bayang-bayang.

***

Pagi menghampiri, ceracau burung mengiringi langkah mahesa yang tiba-tiba terhenti disebuah halte bus yang tertata rapi. Hangat mentari dirasakan lebih hangat lagi, saat pandang matanya menemukan tatap mata dan gairah hidup yang berseri.

“Benarkah dia?” langkah kaki Mahesa perlahan surut kebelakang, mendekat halte yang terisi beberapa orang saja. Segan bibirnyapun menyapa seorang wanita yang berkerudung jingga.

“Ada apa ya mas?”

“Apakah hari ini, hari yang kedua?”

“Maksud Mas?”

“Apakah kemarin kau juga di halte ini.”

“Hampir tiap pagi aku nunggu bis disini dan tiap sore turun dari bis, ya ditempat ini juga.”

“Kamu kenal aku?”

“Kelihatannya tidak, tapi mungkin juga pernah”

“Kenapa mungkin?”

“Mungkin saja kemarin kita ketemu atau bagaimana menurut Mas?”

“Kamu pernah pake kerudung ungu sebelumnya?”

“Sama sekali tidak, soalnya aku tidak punya.”

“Kamu pernah nunggu bis di jalan Urip Sumarjo”

“Pernah juga, sekali waktu dalam sebulan. Pas dari toko buku.”

“Pagi?”

“Siang atau sore. Toko buku buka sekitar jam sembilan.”

“Begitu ya.”

“Memang kenapa?”

“Gak…mungkin salah orang.”

“Wajar Mas, memang terkadang kita mirip dengan yang lain dan sama sekali tidak kita kenal.”

“Ya juga…oya apa namamu sita.”

“Kebetulan hampir mirip, namaku Satia.”

“Ooo..”

“Bagaimana?”

“Mungkin aku mimpi.”

“Bisa jadi,” keduanya lantas tersenyum, namun terkesan agak canggung.

Sebuah bus mendekat dengan begitu tenang, tidak seperti biasanya yang selalu melaju kencang memburu setoran. Satia beranjak dan masuk ke bus tersebut tanpa sekalipun menoleh kembali kearah Mahesa, sehingga akhirnya menjauh dan hilang di batas pandang.

Mahesa melangkah menjauh dari tempat tersebut. Sebelumnya menandai tempat itu dengan sorot matanya yang keheranan dan tidak menentu. Meninggalkan kicau burung yang nangkring di pepohonan rindang belakang halte.

***

Yusron Alwi

Kebonarum Utara II/05 Pucanggading Mranggen, Demak

Astaartg@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gabung yuk